Minggu, 18 Oktober 2015

  KEUTAMAAN ILMU MENURUT IMAM AL GHAZALI


Keutamaan Guru

Firman Allah ‘AzzaWa Jalla

Dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (At Taubah : 122)

Yang dimaksudkan adalah mengajar dan memberi petunjuk.

Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu) : “Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia dan jangan kamu menyembunyikannya” (Ali Imran : 187)

Firman itu mewajibkan untuk mengajar.


Dan sesungguhnya sebahagian dari mereka menyembunyikan kebenaran pada hal mereka mengetahui(Al Baqarah : 146).

Ini menunjukkan haramnya menyembunyikan (ilmu) sebagaimana firman Allah Ta’ala mengenai saksi :

Dan barangsiapa yang menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya”. (Al Baqarah : 283).

Allah tidaklah memberikan ilmu kepada seorang ‘alim melainkan Allah mengambil janji atasnya seperti apa yang diambilNya dari para Nabi, yaitu agar mereka menerangkannya kepada manusia dsn tidak menyembunyikannya [Abu Na'im dari Hadits Ibnu Mas'ud dan seperti itu dari Abu Hurairah]

Dan siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan amal saleh” (Fushshilat : 33)

Serulah (semua manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yane batil) dgn pelajaran yang baik” (An Nahl : 125)

Dan dia mengajari mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan hikmah” (Al Baqarah : 129)

Hadits-hadits

Adapun hadits-hadits maka sabda beliau SAW ketika mengutus Mu’dz ra ke Yaman: Sungguh Allah memberi petunjuk kepada seseorang karena kamu sdalah lebih baik dari pada dunia dan apa yang ada padanya [Ahmad dari hadits Mu'adz]

Barang siapa yang belajar satu bab dsri ilmu untuk diajarkan kepada manusia maka ia diberi pahala tujuh puluh orang shiddiq (orang yang membenarkan Nabi) [Abu Manshur Ad Dailami dari Ibnu Mas'ud dengan sanad yang lemah]

Apabila datang hari Kiyamat maka Allah yang Maha Suci berfirman kepada orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang berjuang “Masuklah ke syurga !”. Lalu para ulama berkata : “Berkat kelebihan ilmu kami mereka beribadah dan berjuang”. Lalu Allah ,Azza Wa Jalla berfirman : “Kamu sekalian di sisiKu seperti sebahagian malaikatku, mensyafa’atilah maka syafa’atmu diterima !” Maka merekapun memberi syafa’at kemudian mereka masuk sYurga [Abul 'Abbas Adz Dzahabi dari Ibnu Abbas dengan sanad yang lemah]

sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla tidak mencabut ilmu dari manusia setelah Allah memberikan ilmu itu kepada mereka. Tetapi ilmu itu pergi dengan kepergian (meninggalnya) ulama. Setiap kali seorang ‘alim pergi maka pergilah ilmu yang bersamaiya sehingga apabila tidak tinggal kecuali para pemimpin yang bodoh-bodoh yang apabila mereka ditanya maka mereka memberi fatwa tanpa ilmu maka mereka sesat dan menyesatkan [Muttafaq 'alaih dari Ibnu Abbas dengan sanad yang lemah]

Barang siapa yang mengetahui suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya maka pada hari Kiyamat Allah mengenakan kendali kepadanya dengan kendati dari api [Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al Hakim dari Abu Hurairah. Hakim menshahihkannya dan At Tirmidzi menhasankannya]

Sebaik-baik pemberian dun sebaik-baik hadiah adalah kata-kata hikmah yang kamu dengar kemudian kamu lipat (kamu simpan) kemudian kumu bawu kepada saudaramu yang muslim, yaitu kamu ajarkan kata-kata itu kepadanya, itu membandingi ibadah satu tahun [Ath Thabrani dari Ibnu Abbas dengan sanad yang lemah.]

“Dunia itu terkutuk, terkutuk (pula) apa yang ada padanya kecuali ingat kepada Allah dan apa yang mengiringinya atau orang yang mengajar atau orang yang belajar [At Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah. At Tirmidzi mengatakan hadits hasan gharib.]

sesungguhnya Allah Yang Maha Suci, malaikutNya dan penghuni langit dan bumiNya sehingga semut di dalam liangnya dan ikan di lautan itu memohonkan rahmat (selain Allah, sedangkan Allah memberikan rahmat) kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia [At Tirmidzi dari Abu Umamah dan ia mengatakan gharib, dan pada naskah lain hasan shahih]

Tidaklah seorang muslim memberifaidah (kemanfa’atan) kepada saudaranya lebih utama dari pada pembicaraan yang baik yang sampai kepadanya lalu ia menyampaikannya [Ibnu Abdil Bam dari riwayat Muhammad bin Al Mungkadir, mursal]

Kata baik yantg didengar oleh orang mu’min lalu diajarkannya dan diamalkannya adalah lebih baginya dari pada ibadah setahu [Ibnul Mubarak dari riwayat Zaid bin Aslam, mursal]

Pada suatu hari Rasulullah SAW keluar lalu beliau melihat dua majlis, yaitu salah satunya mereka berdo’a kepada Allah dan cinta kepadaNya, dan yang kedua mereka mengajar manusia lalu beliau bersabda :

Adapun mereka adalah memohon kepada Allah maka jika Dia menghendaki maka Dia memberi mereka dan jika Dia menghendaki maka Dia mencegah mereka. Adapun mereka (majlis kedua) maka mereka mengajar manusia di mana aku diutus itu sebagai guru kemudian beliau beralih ke majlis itu dan duduk bersama mereka [Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar dengan sanad yang lemah]

Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang mana Allah ‘Azza Wa Jalla mengutusku udalah seperti huian lebat yang mengenai bumi. Dari padanya ada sebidang tanah yang menerima air lalu menumbuhkan padang rumput dan rerumputan yang banyak. Dari padanya ada sebidang tanah yang menahan air lalu Allah ‘Azza Wa Jalla memberikan manfa’at kepada manusia dengannya di mana mereka minum, memberi minum dan bercocok tanam dari padanys. Dan dari padanya ada sebidang tanah yang gerssng, tidak dapat menahan air dsn tidak menumbuhkan padsng rumput [Muttafaq 'alaih dari Abu'Musa]

Perumpamaan yang pertama beliau sebutkan bagi orang yang dapat mengambil manfa’at dengan ilmunya. Yang kedua bagi orang yang dapat memberikan manfa’at (kepada orang lain). Dan yang ketiga bagi orang yang terhalang dari dua ha-l itu (nomor dua dan tiga).

Apabila anak Adam meninggal maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga, yaitu ilmu yang bermanfa’at …[Muslim dari Abu Hurairah]

orang yang menunjukkan atas kebaikan itu adalah seperti orang yang mengerjakannya [At Tirmidzi dari Anas dan ia mengatakan gharib, dan H.R. Muslim, Abu Dawud dan An Nasa'i dan ia menshahihkannya dari Abu Mas'ud]

Tidak ada iri kecuali terhadap dua orang, yaitu seseorang yang dianugerahi hikmah alehAllah ‘Azza Wa Jalla di mana ia’ menghukumi dengannya dan mengajarkannya kepada manusia, dan seseorang yang dianugerahi harta lalu harta itu dibelanjakan dalam kebaikan [Muttafaq 'alaih dari Ibnu Mas'ud]

Semoga rahmat Allah atas para khatifahku”. Ditanyakan : “Siapakah para khaldahmu ?,’. Beliau bersabda : “Yaitu orang-orang yang menghidupkan sunnahku dan mengajarkannya kepada para hamba Allah [Al Hasan, ada yang mengatakan bin AIi ada juga yang mengatakan bin yasar Al Bashri. Hadits itu mursal]

Atsar-Atsar

Adapun atsar maka Umar ra berkata : “Barang siapa menceriterakan suatu hadits lalu ia mengamalkannya maka ia mendapat pahala seumpama pahala orang yang mengamalkan amal itu”.

Ibnu Abbas ra berkata : “Orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia adalah dimintakan ampunan oleh segala sesuatu sampaipun ikan di lautan”.

Sebagian hukama’ berkata : “Orang ‘alim itu masuk pada apa yang di antara Allah dan makhlukNya maka hendaklah ia melihat bagaimana ia masuk”.

Dan diriwayatkan bahwa Sufyan Ats Tsauri rahimahullah tiba di Asqalan lalu ia tinggal di mana ia tidak ada orang yang bertanya kepadanya, lalu ia berkata: “Bekalilah saya agar saya dapat keluar dari negeri ini. Ini adalah negeri yang di dalamnya ilmu itu mati”. Ia berkata demikian karena ia sangat ingin mengemukakan atas keutamaan ilmu dan kekalnya ilmu dengan pengajaran itu.

Atha’ ra berkata : “Saya masuk pada Sa’id bin Al Musayyab di mana ia sedang menangis lalu saya bertanya : “Apakah yang menjadikan kamu menangis ?”. Ia menjawab : “Tidak ada seorangpun yang tanya kepadaku tentang sesuatu”. Sebagian mereka berkata “Ulama itu pelita masa. Masing-masing dari mereka adalah pelita masanya di mana orang-orang pada masanya itu meminta penerangan kepadanya”.

Al Hasan rahimahullah berkata : “Seandainya tidak karena ulama maka manusia menjadi seperti binatang”, yakni dengan pengajaran para ulama mengeluarkan manusia dari batas hewan ke batas manusia”.

Ikrimah berkata : “sesungguhnya ilmu ini mempunyaiharga”. Ditanyakan : “Apakah harga itu ?” .Ia menjawab : “Kamu meletakkannya pada orang yang baik membawanya dan tidak menyianyiakannya”.

Yahya bin Mu’adz berkata : “Para ulama itu lebih sayang kepada ummat Muhammad SAW dari pada ayah dan ibu mereka”. Dikatakan : “Bagaimanakah demikian itu ?”. Ia menjawab : “Ayah dan ibu mereka menjaga mereka dari api dunia sedangkan para ulama menjaga mereka dari api (neraka) akhirat”.

Ada orang mengatakan : “Awal ilmu itu diam, kemudian mendengarkan, kemudian menghafalkan kemudian mengamalkan kemudian menyiarkannya”. Dan ada orang yang mengatakan : “Ajarkanlah ilmumu kepada orang yang bodoh (tidak tahu) dan belajarlah dari orang yang $erilmu apa yang kamu tidak tahu (bodoh). Jika kamu melakukan hal itu maka kamu mengetahui apa yang telah kamu ketahui”.

Mu’adz bin Jabal berkata mengenai pengajaran dan belajar, dan saya (Imam al Ghazali) memandangnya marfu’ :

Belajarlah ilmu karena sesungguhnya belajarnya karena Allah itu adalah takwa, menuntutnya itu adalah ibadah, mempelajarinya itu tasbih, membahasnya itu adalah jihad, mengajarkannya kepada 0rang yang belum mengetahuinya itu adalah sedekah, memberikannya kepada keluarganya itu adalah pendekatan diri (kepada Allah). Ilmu itu adalah penghibur di kala sendirian, teman di kala sepi, penunjuk kepada agama, pembuat sabar di kala suka dan duka, menteri di kala ada teman-teman, kerabat di kala dalam kalangan orang asing dan sebagai menara jalan ke syurga. Dengannya Allah mengangkat kaum-kaum lalu Dia menjadikan mereka sebagai ikutan, pemimpin dan penunjuk yang diikuti, penunjuk terhadap kebaikan, jejak mereka dijadikan kisah dan perbuatan mereka diperhatikan. Malaikat senang terhadap peri laku mereka dan mengusap mereka dengan sayap mereka (malaikat). Setiap barang yang basah dan kering sehingga ikan di lautan, serangga, binatang buas dan binatsng jinak di daratan, dan langit dan binatang memohonksn ampunan bagi mereka

Karena ilmu itu kehidupan hati dari kebutaan, sinar penglihatan dari kegelapan dan kekuatan badan dari keleniahan yang menyampaikan hamba ke kedudukan orang-orang yang bajik dan derajat yang tinggi. Memikirkan tentang ilmu itu mengimbangi puasa, mempelajarinya mengimbangi mendirikan malam (dengan shalat dan sebagainya). Dengan ilmu, Allah ‘AzzaWa Jalla dita’ati, dengannya Allah itu disembah, dengannya hamba diberi janji, dengannya Dia ditauhidkan, dimuliakan, dengannya hamba menjadi wara’, dengannya sanak kerabat disambung, dengannya diketahui halal dan haram. Ilmu itu pemimpin sedangkan amal adalah pengikutnya. Orang-orang yang berbahagia itu diberi ilham mengenai ilmu dan orang-orang yang, celaka itu terhalang. Kita bermohon kepada Allah Ta’ala akan baiknya pertolongan.
..
wallahu a’lam
        Keutamaan Ilmu Menurut Ali Bin Abi Thalib RA 
        IMAM Ali Bin Abi Thalib RA merupakan salah satu sahabat Rasulullah yang Luar Biasa, memiliki kecerdasan, kebijaksanaan dan loyalitas yang tinggi terhadap dakwah Islam dan perkembangan peradaban dunia pada umumnya. Sebagai mahasiswa, patut kiranya kita mencerna hikmah-hikmah yang beliau sampaikan perkara keutamaan menuntut ilmu, agar motivasi, niat dan semangat kita terus terjaga dan terpelihara dalam menjalankan amanah menuntut ilmu ini.
 berikut adalah sepuluh keutamaan ilmu menurut beliau:
1.   ilmu adalah warisan para nabi dan rasul, sedangkan harta adalah warisan fir’aun dan qarun
2.   ilmu akan menjaga kita, sedangkan harta sebaliknya,kitalah yang harus menjaganya
3.   semakin banyak ilmu semakin banyak orang yang menyayangi dan menghormatinya.sedangkan semakin banyak harta,semakin banyak musuh dan orang yang iri kepadanya
4.   ilmu jika diamalkan malah akan semakin bertambah,sedangkan harta jika digunakan akan semakin bekurang
5.   pemilik ilmu akan dihormati dan mendapat sebutan baik,sedangkan pemilik harta seringkali dicemooh dan mendapat julukan yang buruk
6.   ilmu tidak ada pencurinya sedangkan harta banyak pencurinya
7.   pemilik ilmu akan diberi syafaat (pertolongan) dihari akhir kelak,sedangkan pemilik harta akan dihisab diusut asal muasal hartanya oleh Allah swt
8.   ilmu akan kekal selamanya,sedangkan harta akan habis suatu saat nanti
9.   pemilik ilmu akan dijunjung tinggi dengan kualitas manusianya, sedangkan pemilik harta akan dijunjung tinggi dengan kualitas hartanya
10.       ilmu itu akan menyinari pemiliknya, sehingga hatinya menjadi lembut. sedangkan harta akan membuat gelap mata pemiliknya, hati menjadi keras dan hidup tidak tentram.

Minggu, 11 Oktober 2015

Islam Itu Indah Maka Renungkanlah

Maka lihatlah bentuk konkritnya pada sebarik kisah-kisah mengagumkan. Pada keteladanan agung kehidupan para salaf yang mulia. Pada ketakjuban akhlak tinggi mereka, pada keindahan pribadi yang tersiram dari mata air yang suci, pada kelembutan yang tersinari dari pelita yang menerangi, Sang Nabi yang begitu terpuji.

 
  3266  0
akhlak_adab
Segala puji bagi Allah rabb semesta alam. KepadaNyalah seluruh makhluk bertumpu dan mengadu, dari keterserakan asa, dari kelemahan daya, dari ketakmampuan usaha, dan dari kepandiran jiwa serta raga. DariNyalah keharmonisan alam berpadu, sehingga mengulunlah kasih dan sayang dengan penuh syahdu, maka lahirlah kemesraan meski terbingkai dari keragaman yang tak pernah satu.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan sekalian alam, MuhammadShallallahu alaihi wasallam, nabi penutup risalah, yang karenanya ia diutus untuk menebarkan kasih sayang ke seluruh alam. Maka adalah indah sabda-sabdanya penuh harmoni. Tindak-tanduknya penuh lestari. Perintah-perintahnya sepenuh ketulusan memberi.
Larangan-larangannya sepenuh keikhlasan menyelaksai. Maka sungguh indah. Antara sabda dan lelakunya tak pernah saling menyelisihi. Pun perintah dan larangannya tak pernah ada saling menyalahi. Maka adalah indah Islam agama yang mengajarkan kasih sayang, diturunkan oleh Dzat Yang Mahakasih dan sayang, diwahyukan melalui malaikat yang penuh kasih dan sayang, dan disampaikan untuk disebarkan kepada sekalian alam oleh nabi yang penuh kasih dan sayang. Sungguh indah agama yang dituntunkan oleh Dzat Yang Mahaindah lagi mencintai keindahan.
Karenanya, Islam hadir di tengah-tengah ummat bukan untuk membelenggu. Ia hadir demi memperindah tatanan. Yang rusak, ia perbaiki. Yang salah, ia betulkan. Yang bengkok, ia luruskan. Yang jelek, ia baguskan. Yang bodoh, ia pintarkan. Yang baik, ia ajarkan. Yang merusak, ia larangkan dan seterusnya. Islam hadir demi kasih sayang untuk sekalian alam.
Maka adalah wajar, jika sang pengemban risalah penuh kasih dan sayang kepada ummatnya. Sebab, ia adalah cermin tempat berkaca bagi kebengkokan-kebengkokan perilaku mereka. Sebab, ia adalah pelita yang membimbing bagi kegelapan-kegelapan hati mereka. Sebab, ia adalah penentram yang mengarahkan bagi kegalauan-kegalauan jiwa mereka. Dan sebab ia adalah qudwatun hasanah, sang panutan lagi teladan bagi kehidupan mereka.
Memang indah. Ia yang tersurat sebagai penuntun ummatnya demi kehidupan yang lebih baik, di dunia dan akhirat, benar-benar menjadi contoh yang sempurna dalam setiap sisi kehidupannya. Maka adalah keserasian yang ia ajarkan. Maka adalah kelembutan yang ia tularkan. Maka adalah keadilan yang ia sebarkan. Maka adalah kemuliaan hidup yang ia tawarkan. Maka adalah rahmatan lil alamin yang ia simpulkan, di tengah ummat.
Dan betul-betul indah ternyata ia benar-benar rahmatan lil alamin. Ajaran-ajarannya penuh sejuta hikmah. Wejangan-wejangannya tak pernah meninggalkan bekas lara di dada. Anjuran-anjurannya selalu menyimpul ulang semangat yang membaja. Nasehat-nasehatnya selalu tepat mengenai titik sasarannya, dan tanpa sedikitpun menyinggung amarah si empunya. Keadilan dalam berkata dan kejujuran dalam bersikap itulah pedomannya.
Maka lihatlah manusia-manusia di sekitarnya. Tak pernah ada yang terciderai rasa. Tak ada pula yang pernah tersinggung kata. Semua ia tunaikan hak-haknya. Tak ada pembedaan. Tak juga pengistemewaan. Kecuali pada hal yang sudah digariskan, yaitu ketaqwaan. Maka yang bangsawan tak tersanjungkan di hadapannya. Yang rakyat biasa saja juga tak terpinggirkan di majelisnya. Semua sama. Pun kaya dan miskin, tak ada beda. Masing-masing ia tunaikan hak-haknya, dengan perlakuan yang semesti dan sepantasnya.
Sang Nabi memang penuh kasih sayang kepada semuanya. Tapi, kepada wanita ia lebih lemah lembut daripada yang lainnya sebab ia tahu kunci kelemahannya. Dan tersebab itu ia pun bersabda kepada kita, selaku ummatnya, dalam riwayat Al-Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi, “Wanita itu tercipta dari  tulang rusuk, dan bagian yang paling bengkok adalah atasnya. Jika terlalu keras meluruskannya engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau membiarkannya, ia akan tetap bengkok. Maka, berhati-hatilah memperlakukannya.”
Karenanya, ia tak pernah membentak kaum hawa. Sebab itu hanya akan mematahkannya saja. Tak pula ia terlalu memanjakannya. Karena ini hanya akan melenakannya semata. Seperti kisah turunnya surat Al-Ahzab ayat 28 dan 29. Ketika istri-istrinya meminta tambahan nafkah, dan berhasil membuat dirinya resah bercampur amarah. Tapi tetap saja tak ada kata-kata amukan yang tertumpah. Tak ada dampratan. Tak pula bentakan.
Atau seperti kisah Fatimah yang datang kepadanya meminta seorang pembantu rumah tangga. Meskipun yang hadir adalah putri kesayangannya, namun tetap saja tak ada pemanjaan yang berlebihan. Tak ia kabulkan keinginannya. Dan tak ia berikan apa yang dimauinya. Justru ia tawarkan apa yang lebih baik dari yang diminta, bahkan lebih baik dari dunia dan seisinya. Maka ia nasehatkan agar bertasbih, bertahmid, dan bertakbir tiga puluh tiga kali sebelum beranjak tidur sebagai gantinya.
Maka betul-betul indah ketika shahabat-shahabatnya beramai-ramai meniti setiap garis jejaknya. Seperti kisah Al-Faruq, ‘Umar bin Al-Khattab, yang tengah naik mimbar dan mengkritisi perihal tingginya mahar yang diminta kaum hawa. Maka berdirilah seorang dari mereka menyela dengan suara tegasnya. “Apakah engkau hendak membatasi sesuatu yang Allah sendiri pun tak pernah membatasinya dalam kitab suciNya?” begitu ujarnya.
Maka para hadirin terhenyak tak menyangka. Ternyata ada wanita yang sebegitu. Pun juga ‘Umar tak kalah kagetnya. Namun, tetap saja ada kasih sayang harus diberikannya, seperti panutannya yang begitu lemah lembut. Maka tak ada bentakan. Tak juga dampratan. Dan tak pula kata makian dasar wanita pembangkang. Maka adalah ‘Umar menjawabnya dengan penuh kelembutan, “Engkau benar wahai saudariku. Akulah yang salah!”
Subhanallah. Sungguh keluhuran budi yang terbungkus dalam beningnya hati nurani. Maka terlahirlah keharmonisan, terjelmalah kemesraan, dan terpadulah kesetiaan dan pengorbanan. Islam itu memang indah.
Toh begitu tetap ada sisi lain yang harus dicermati. Ada potensi lain yang musti diwaspadai. Agar tak berakhir tragis bak ummat-ummat terdahulu. Seperti kisah bani Israil yang tak sanggup mewaspadainya. Maka dimusnahkanlah tujuh puluh ribu pasukan dari mereka dalam sekejap saja. Maka sang pengemban risalah terakhir pun lekas-lekas mewanti-wanita kita, dengan bahasa kasih sayangnya yang teramat besar kepada ummatnya.
“Adalah dunia ini,” sabda beliau di sela-sela khutbahnya, “Sungguh indah nan mempesona tampak di mata. Dan Allah menyerahkan pemakmurannya kepada kalian; sebab Ia ingin menguji bagaimana amal-amal kalian. Karena itu, berhati-hatilah dari dunia, dan berhati-hatilah terhadap wanita.”
“Sebab,” lanjut beliau dalam riwayat Imam Muslim, “Musibah pertama yang menimpa Bani Israil adalah karena wanita.” “Maka,” pungkas beliau dalam riwayat Imam An-Nasa’i, “Tak ada musibah yang lebih berbahaya sepeninggalku melebihi wanita.”
Indah benar. Dua kutub yang saling berjauhan dipadukan dalam satu sulaman. Ia yang diwanti dan diwaspadai ternyata juga begitu disayangi. Maka ia pun tak terkekang hak asasinya. Dan tak jua terumbar kebebasannya. Ia dijaga tapi tetap dihargai. Juga dikaryakan sembari terus diawasi.
Maka lihatlah bentuk konkritnya pada sebarik kisah-kisah mengagumkan. Pada keteladanan agung kehidupan para salaf yang mulia. Pada ketakjuban akhlak tinggi mereka, pada keindahan pribadi yang tersiram dari mata air yang suci, pada kelembutan yang tersinari dari pelita yang menerangi, Sang Nabi yang begitu terpuji. Maka tak ada penelikungan atas nama wanita. Tak ada pengekangan atas hak-haknya sebagai manusia. Tak ada penodaan atas fitrah manusiawinya. Apatah lagi kezaliman pada kesucian dirinya. Ia benar-benar dijaga, tapi tetap dihormati. Betul-betul indah, seindah keagungan akhlak Sang Nabi yang begitu memukau jagad raya. Subhanallah. Lalu kita?
Sungguh, jauh panggang dari api. Ya, kita selaku ummatnya hanya bisa merenungi sambil mengintrospeksi diri: pada tutur kata kita, pada tingkah laku kita, pada kebeningan hati kita, dan pada kepandiran jiwa kita; sudah layakkah kita menjadi ummatnya? Lalu kita selaksai makna yang terkandung di dalamnya; sudah pantaskah kita, yang berikrar ke sana ke mari sebagai yang paling nyunnah, betul-betul menjadi pengikutnya? Setiap kita, saya dan anda, tentu lebih mengetahui apa jawaban pastinya. Sebab, masing-masing kita adalah yang paling tahu siapa diri kita yang sebenarnya.
Maka, marilah kita menyelaksai makna, sambil terus menyelam di lautan ilmu, pada keteladanan agung nan indah itu. Untuk kemudian di sana kita belajar pada pengalaman-pengalaman hidup mereka yang syahdu. Lalu, ianya kita jadikan asas kebermaknaan dalam setiap langkah kita menuju kemuliaan. Setelah itu, langkah-langkah tersebut kita jadikan neraca acuan bagi jejak-jejak kaki kita meniti jalan perubahan.
***
Madinah, 22 April 2015
Penulis : Ust. Abu Hasan Ridho Abdillah, BA., MA.
Artikel Muslim.Or.Id